Selasa, 11 Maret 2014

Menjemput Puncak

Last week. Tuesday, March 04, 2014.
Salah satu hari bersejarah dengan XI BAHASA 2013/2014. Meskipun tak semua, tapi setidaknya lebih dari separuhnya. Hari itu bahagianya membara tiada tara. Love you jagoan-jagoan hebat ({})
Sekitar jam 4:30 sore kami masih berada di Pendopo Kalisong Desa Nglanggeran. Cek:




Bersama Niki, si kembar Tifa Lifta, Latifah, dan Bima berteduh di tempat itu karena hujan turun cukup deras. Sembari menunggu hujan reda dan juga menunggu teman yang belum datang kami, para feminine mengambil beberapa gambar dengan kameraku. Merogoh isi tas Niki untuk mengahbiskan jajannya. Yah belum jadi berangkat udah habis duluan. Bima sibuk menonton TV sambil berjalan kesana kemari. Tak lama kemudian Ayub dan Guntur datang menuju tempat parker disusul Diva juga. Karena yang ditunggu sudah datang, hujan mulai reda, dan sudah tak sabar menginjakkan kaki di atas bebatuan yang entahlah aku juga beum pernah.

Aku mengganti sepatuku terlebih dulu dengan sepatu sekolahku yang biasa kupakai. Dengan berbekal niat dan doa kami berangkat naik bersama hujan yang masih mengguyur sore itu. Guntur dan Ayub yang mengawali karena memang mereka ditugasi menjadi leader (katanya). Para ladies hanya bisa mengikuti jalur yang mereka lewati. Aku berjalan bersama Niki dengan hati-hati meskipun medan belum begitu sulit. Kembar dan Latifah berjalan agak belakangan. Ohya saya lebih suka menggunakan nama Simbok (Niki) dan Simbul (Latifah) karena sudah kebiasaan di kelas. Ayo Mbok Mbul semangat turunin berat badannya. Astaghfirullah aku jahat. Ini jepretan pertama saat mendaki:













Karena Guntur dan Ayub terlalu bersemangat mendaki dengan berlari kecil, belum ada setengah perjalanan mereka terlihat kelelahan. Sejenak berhenti di tempat yang agak lapang, berusaha mengatur nafas dan minum air mineral yang di bawa dari rumah. Setelah itu kami kembali berjalan, melewati jalanan agak menanjak yang dihimpit oleh bebatuan super duper besar. Menurut cerita teman-teman, tempat ini yang membuat khawatir kalau-kalau ada sesuatu terjadi ketika mereka melewatinya. Auh. Tak berapa lama kemudian kami sudah berada di pos 1. Semua terlihat kedinginan karena semakin tinggi angin semakin kencang dan hujan juga kembali mengguyur. Namun itu tak mengurangi kadar semangat kami menjemput puncak. Sebelum beranjak kembali kami berfoto-foto ria:








Jalan menuju pos 2 dapat kami lalui dengan kaki yang sudah pegal-pegal rasanya mau copot. Hampir saja Kembar dan Mbul berhenti di tengah jalan.
“Dut tunggu!” samar-samar kumendengarnya dan kulanjutkan berjalanan dibelakang Mbok.
“Kidut Simbok tunggu!” kali ini aku berhenti orang belakang karena para maskulin sudah berjalan di depan. Mbok tak menggubris dan tetap naik. Ini dia cara mengukur tingkat keegoisan seorang manusia yang paling tepat (menurutku sih). Setelah Kembar dan Mbul menyusul kami kemudian berjalan bersama-sama. Karena Tifa tak mau di belakang sendiri akhirnya aku yang mengalah berjlan paling belakang. Dengan hati-hati kami menempatkan kaki satu-per-satu di atas jalanan yang mulai licin. Sebelum melanjutkan ke pos 3 kami duduk sebentar, minum-minum, dan sedikit mengobrol. Guntur menunjukkan tangannya yang membiru dan seperti berkerut-kerut krena kedinginan. Ayub terlihat pucat dan menggigil karena ternyata dia mempunyai alergi dingin. Kasian.
“Kowe ndhisik wae aku mengko nyusul,” perintah dari sang atasan, Ayub.
“Bareng-bareng wae yo,” usulku sedikit memaksa. Ingat ya, ukur egoisnya masing-masing.
“Ayub kuat Guntur kuat Mbul kuat kabeh kudu kuat,” begitu kami saling menyemangati.

Kurang dari setengah perjalanan lagi kami sudah berada di puncak. Rintik-rintik air hujan masih membasahi wajahku. Keringat, air mata, air hujan, yang melebur menjadi satu setia mengantarku hingga puncak nanti. Perjalanan menuju pos 3 semua terpecah belah. Ayub, Bima, Diva (kloter 1) berjalan paling awal dengan jarak yang lumayan jauh. Guntur, Mbok, dan aku (kloter 3) menyusulnya. Mbul dan Kembar (kloter 3) yang paling belakang nyaris tak tahu arah kemana mereka harus berjalan agar dapat menemukanku, Mbok dan Guntur. Iseng saja Guntur mengambilkan bunga di pohon yang tidak terlalu tinggi dan memintaku untuk mencium baunya, sambil menunggu kloter 3 muncul. Karena dirasa cukup lama Guntur dan Mbok melanjutkan jalannya dan meninggalkanku sendirian. Setelah kudengar suara Mbul dan Kembar aku langsung menyusul Mbok dan hanya memberikan arahan untuk kloter 3. Ngeri juga sih jalan sendirian. Hi.

Setelah singgah di pos 3, meneguk air mineral, dan pastinya foto-foto, sampailah kami di puncak kedua Gunung Api. Aku langsung mengeluarkan kameraku dan kami foto-foto dengan tampang yang sudah tak karuan:











Ini Tifa kayak superman!




Alagaza


Lifta dengan korbannya, sepatu



 

“Allahuakbar…Allahuakbar…”
Adzan maghrib berkumandang ketika kami tepat berada di puncak tertinggi di Gunungkidul. Entahlah kira-kira berapa mpl, aku tidak sempat menghitung. Terlihat sebongkah senyum yang mengembang wajah teman-teman hebatku itu. Subhanallah. Aku berteriak sekeras mungkin. Lelah, letih, penat, gembira, bahagia, semua terungkapkan lewat keberhasilan kami menjemput Puncak Gunung Api Purba Nglanggeran. Kami tak lagi mempermasalahkan sunset yang ingin sekali kami lihat dari puncak ini, tapi karena kahanan yang tidak memungkinkan. Yasudah tak apa yang penting sudah sampai sini. Bintang pun tak mau menanmpakkan wujudnya karena terkalahkan oleh mega mendung.

Semburat sinar oranye yang lama-kelamaan menghilang turut menjadi saksi bahwa kami pernah menginjakkan kaki di sini. Ya, di tempat yang sungguh indah dan mempesona ini. Sungguh indah ciptaanMu Ya Rab :)))) Tak lupa momen ini diabadikan dengan kamera digitalku (hasil timer):


9 Jagoan Hebat!

Setelah beberapa saat kami menikmati pemandangan di bawah kami pun turun. Ada beberapa dari kami yang takut akan landainya batu yang akan kami turuni. Hanya dengan 2 senter kami bersembilan meninggalkan puncak ini. Bima memimpin. Di belakangnya ada Mbok, Aku, Lifta, Tifa, Mbul, Diva, Ayub, dan Guntur.
“Cara turun gunung yang baik dan benar,” kata Bima layaknya menjadi guide. Semua tertawa terbahak melihat tingkah konyol Bima yang tak habis-habis. Padahal biasanya Bima dan juga para maskulin lainnya tak pernah “seperti ini” kalau di kelas. Memang benar kata guru mentoringku waktu itu, orang akan kelihatan sifat aslinya kalau sedang bermain di alam. Nah bisa dibuktikan sendiri!
Posisi berubah karena pemegang senter depan dan belakang mulai rusuh. Guntur berpindah menjadi di depan dan Bima mendekati Ayub. Perjalanan turun lebih menantang daripada saat pendakian. Tanah yang kami injak benar-benar licin dan harus ekstra hati-hati. Ditambah juga dengan penerangan yang kurang, membuat kami harus selalu menjaga kekompakan dan tetap kontrol egoisnya.
“Sesuk meneh gawa senter dewe-dewe cah,” Mbul mulai angkat bicara.
Bruk….Srrrrrttt…. Spontan aku menengok ke belakang.
“Lifta nggak papa.” Aku tidak bisa membantunya karena jarak cukup jauh. Dan akhirnya dibantu kembarannya, Tipa. Setelah beberapa saat berjalan ada lagi yang terpeleset, Guntur, kemudian Mbul, Tifa hampir saja jatuh tapi dia berhasil menyeimbangkan posisinya.
“Hahahaha,” tawa kami serasa menguasai tempat ini.
“Pancen kanca ki nek ana sing tiba diguyu sik lagi ditulung,” Tipa membuat tawa makin pecah.
Ketika di jalan sempi di antara batu super duper rasaksa kami harus berjalan mundur, aku giliran pertama setelah Guntur. Tiba-tiba,
“Dut sepatumu jebol,” langsung kulihat kedua sepatuku.
“Ben lah. Aku jarak njebolke meh tak tinggal kene nggo kenang-kenangan,”
“Aku wae ora ninggal opo-opo Dut,” timpal orang belakang.
“Awake dewe ninggal kenangan cah!” Cieeeeee yang ini sosweeeeeeeeeeeet.

Di perjalanan turun gunung ini aku benar-benar merasa terlindungi oleh para maskulin yang ternyata mempunyai rasa peduli yang tak pernah kuduga sebelumnya. Begitu juga dengan Mbok, Tifa, Lifta, Mbul. Kami seperti digiring dengan penuh perasaan. Kami semua benar-benar menikmati penjelajahan sore hingga malam ini. Nyaris tak eling wektu karena pada saat adzan isya’ kami masih di setengah perjalanan turun gunung. Tak memperdulikan petugas setempat yang tak mencari kami. Bisa jadi kami di gunung ini hanya bersembilan. Hanya sekelompok anak-anak yang mengisi waktu luang dengan melepas beban penat yang dipikul selama ini. Ah tragis sekali.


Dialog demi dialog mengantarkan kami hingga pendopo. Aku benar-benar meninggalkan sepatuku di tong sampah samping pendopo. Lalu kami berjalan menuju tempat parkir. Sebelum kami pulang kami mampir di warung makan sekitar tempat parkir. Sambil mendengarkan musik tradisional ala Desa Nglaggeran kami berjalan beriringan menuju toko kecil di pinggiran jalan. Ya seperti pada toko makanan yang biasanya. Duduk, pesan, tunggu, datang, makan. Sambil menunggu kami mengobrol banyak hal tentang emmmmmm sakecandakke. Hahahaha konyol.
Mie rebus sudah siap disantap. Mumpung masih hangat segera kami habiskan lagian perut juga sudah merengek-rengek. Sambil membayangkan perjuangan pendakian menjemput puncak kali ini.
“Heh maskulin? Maaf ya makan duluan,” godaku pada cowok-cowok itu yang ternyata belum mendapat jatah makannya, kecuali Bima. Bima sudah melahap mie gorengnya tanpa peduli teman :D
“Ladies first haha”

Lagi-lagi kuperhatikan senyuman kebahagiaan terpancar dari wajah-wajah merka yang sebenarnya sudah terlihat sangat lelah. Selamat berjuang untuk petualangan selanjutnyaaaaaaaaaaaa!

Terimakasih banyak telah membawaku ke sana, menatap atas dan juga menatap bawah :")