Sabtu, 08 Maret 2014

Surat Sesaat #2

Semua yang terjadi tak akan kembali. Jalan Terbaik – Seventeen
Untuk yang pernah meyakinkan padaku bahwa aku adalah wanita yang kuat, tidak pernah bersedih, dan selalu tersenyum.

Terimakasih banyak untukmu yang dahulu kala pernah menuturkan “Aku yakin kamu kuat dek”. Hari ini, tepat setengah tahun kita menjalin hubungan dengan status yang berbeda. Dan di detik ini aku benar-benar merasa menjadi kuat sekuat-kuatnya, berkatmu. Tak ada setetes airmata yang keluar dari persembunyiannya. Sebelumnya aku tak pernah sekuat ini. Jangan lupa, aku adalah tipikal orang yang sulit untuk menerima kenyataan. Seringkali kuberontak dengan apa yang terjadi kepadaku. Awal perpisahan itu kulalui dengan sangat tidak menyenangkan. Masih selalu terbayang bagaimana kauucap manis kata cinta dan sayang yang kaupadukan dengan candaan. Aku tak mau melupakannya karena yang ada, hal itu makin terngiang jelas di memori otakku. Dan akhirnya kuputuskan untuk berusaha mempertahankan isi hati ini semampuku. Sepanjang kami berjalan sendiri-sendiri banyak yang terlalu menyayangkan dengan keputusan sepihakmu. Namun harus dikata apalagi. Orang yang sudah menikahpun sah-sah saja bercerai. Oleh sebab itu sah-sah juga orang pacaran lalu putus. Benar begitu bukan?
Nyatanya aku juga tak mampu memaksakan kehendak kita untuk selalu bersama. Kupikir lebih baik juga kita berjalan beriringan tanpa harus bergandengan. Tak dapat lagi kita menyangkal bahwa yang abadi hanyalah Allah semata. Percayalah, Allah memberikan jeda untuk kebersamaan kita dan akan kembali dipersatukan dalam waktu yang telah ditentukan. Ingat, bukan seperti sediakala namun tentu saja ada sesuatu yang berbeda.
KepadaMu tak ada lagi yang mampu kuucap melainkan untaian kata terimakasih atas pentujukMu…

Pernahkah engkau sejenak mengingat aku? C.I.N.T.A – D’Bagindas
Untuk yang (mungkin) tak pernah sejenak saja menghadirkanku dalam bayangannya.

Jauh sebelum perpisahan itu (sebenarnya aku lebih senang menyebutnya lepas, bukan pisah) kaubilang setiap saat kau selalu memikirkanku. Namun kini kuragu apakah kamu masih mampu berucap begitu. Tak pernah di setiap pagi ada sapaan renyahmu. Tak ada juga ucapan selamat malam dan selamat tidur darimu. Meski aku sebenarnya juga tak terlalu mengharapkan, namun rasanya semua berubah cepat. Segalanya nyaris berubah total. Jarangnya komunikasi yang kita bangun membuat kita semakin jarang berinteraksi. Mungkin itu juga yang membuatmu keseringan tak mau menghubungiku. Sepertinya jarak yang awalnya sudah menghalangi kita, kini menjadi semakin menghalangi. Sebagai wanita aku tak enak hati untuk menghubungimu terlebih dulu, terkecuali ada hal yang sekiranya penting. Karena aku tak tahu harus memilih topik pembicaraan yang seperti apa. Alasan yang paling mendasar sebenarnya karena aku takut mengganggumu. Mengganggu kesibukanmu yang tak ada habisnya. Untuk menghubungipun aku harus mencari waktu yang sekiranya tepat.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai terbiasa dengan keadaan ini. Denganmu yang terlalu sering hilang datang dan pergi kembali. Kalau memang aku sudah dilupakan, aku sudah tak dibutuhkan, tak apa. Tapi bukan begini caranya. Setidaknya dulu aku sudah pernah mengatakan itu dulu. Sudah wanti-wanti kalau sewaktu-waktu aku sudah tak menjadi bagian darimu. Jangan lupa bahwa kita pernah saling memiliki.
Kepada seorang kamu kuharap kau tak pernah mencoba untuk melupakanku dan segala tentangku…

Tanpa aku kau akan baik saja. Bukan Permainan – Gita Gutawa
Untuk seseorang yang (semoga) akan selalu berbahagia tanpa adanya diriku.
Ada saja tulisanmu di jejaring sosial yang selalu membuatku penasaran bukan main.
“Senyumanmu buatku bahagia :D”
Hayooo siapa yang jadi tokoh dalam tulisan itu? Alah paling juga siapa gitu. Be positive! Selama kamu menyandang status lajang, beberapa jajaran nama sering kudengar. Kamu harus tahu, aku masih memperhatikanmu berkeliaran di media sosial. Itulah slah satu bentuk (masih ada) kepedulianku terhadapmu. Lagi-lagi aku menjadi orang yang sulit menerima kenyataan. Pernah sekali waktu aku menyinggung bab ini di depanmu. Dan aku tak berani menatap wajahmu karena aku takut nanti aku akan menebak-nebak pikiranmu. Ini selalu menjadi bagian yang selalu menjengkelkan. Karena di sini aku sudah tak berhak apapun tentang ini. Ada lagi rasa syukur yang harus kuucapkan karena Allah telah melepaskanmu dariku. Bagaimana tidak? Kalau aku masih berhubungan denganmu bukankah aku tak bisa setegar ini? Aku sadar diri.
Ada saatnya kamu nanti menemukan yang lebih baik dariku. Dan (mungkin) kamu benar-benar tak lagi membutuhkan sosokku di hidupmu. Entah sebagai apapun. Tapi yang selalu kuingat, berkat Si Bola Voli yang kuhakimi sebagai pengahalang kita bersama-sama. Beberapa waktu lalu Si Bola Voli membuatmu menggerakkan tanganmu dengan lincah di atas keypad ponselmu untuk menuliskan “Makasih supportnya :)”
Kepada Bola Voli yang (tak) pernah bersalah, lindungilah dirinya selayaknya dia melindungimu…

Salam hangat dari yang masih mencinta dengan sangat.