Cinta
Sederhana
Siapa
yang tahu kejutan menarik di balik harmonisnya hubungan Danisa dan Edo? Mungkin
hanya orang-orang tertentu yang mengetahuinya. Dan bisa jadi satu di antaranya
yaitu aku. Aku merasa cukup beruntung. Meskipun aku tidak mengikuti perjalanan
kisah asmaranya mulai dari awal. Tetapi setidaknya aku berkesempatan untuk
menjadi seseorang yang entah mereka menganggapnya apa. Aku merasa cukup
beruntung. Aku ada di antara mereka. Aku belajar tentang cinta yang sederhana.
“Kamu
tau nggak awal ceritanya mereka?”
“Cerita
apa?”
“Ya
awal pertemuan mereka, pacaran sampe sekarang.”
“Tau.
Kita udah lama kenal.”
“Ohya?
Gimana?”
“Gimana
apanya?”
“Ceritanya.”
“Ya
gitu lah.”
“Gitu
gimana?”
“Pokoknya
gitu deh!”
“Kasih
tau lah.”
“Bingung.”
“Kok
bingung?”
“Ya
emang ceritanya membingungkan.”
“Oh.”
Karena
malas untuk menanyakan lebih jauh dengan jawaban yang sama sekali tidak
memuaskan akupun menghentikan percakapan itu dengan seorang narasumber yang
nyaris tidak pantas disebut sebagai narasumber. Hanya sekedar penjawab
pertanyaan dengan padat dan singkat. Aku menggelengkan kepalaku di hadapan Bona.
Sesorang pemuda yang aku indahkan dulu. Sekarang pun masih begitu. Meskipun dia
kini tak menganggap keberadaanku. Satu-satunya harapan untukku mendapatkan
jawaban yang kuinginkan. Tetapi hal itu hanya keinginan semata. Banyak yang
berbeda di antara kami setelah peristiwa di hari minggu pagi sekitar 4 bulan
yang lalu. Aku memakluminya. Dan sudah seharusnya semua berubah karena roda
kehidupan yang terus berputar seiring dengan berjalannya waku. Kamu yang dulu
sangat antusias untuk mendengarkan ceritaku, menjawab pertanyaanku, apalagi
hanya sekedar menertawakan hal-hal bodoh yang aku lakukan. Tapi itu dulu. Iya
dulu.
Kupikir
aku dan Bona akan selalu berjalan beriringan bersama Danisa dan Edo. Tetapi itu
hanya sebuah harapan yang (mungkin) belum dikabulkan. Aku hanya bisa berharap,
berharap, dan terus berharap. Apanya gunanya
harapan tanpa ada kenyataan? Semua yang terjadi dan yang kita lewati
rasanya secepat kilat yang menyambar ketika awan hitam pekat menyalimuti
langit. Secepat itu datangnya. Secepat itu perginya. Kupikir kita semua akan
berjuang bersama-sama demi terciptanya kedamaian dan ketenangan. Namun kini
sudah tidak lagi sama. Ibarat kita berjalan dan menemukan persimpangan, mereka
berjalan menuju jalan yang berbeda denganku. Ketika mereka tetap berjalan lurus
aku memilih untuk berbelok. Iya kami
masih sama-sama berjalan namun berjalan di lintasan yang berbeda. Ku rasa mereka
sudah bahagia tanpa adanya aku. Bahkan lebih bahagia. Dan aku merasa
keberadaanku yang seringkali tak dihiraukan. Entah itu hanya peasaanku saja
atau memang begitu realitanya. Tetapi aku masih akan terus membutuhkannya
karena aku bukan apa-apa tanpa mereka meskipun aku bukan apa-apa di depan
mereka.
----
Sore
itu di depan rumah Danisa. Kami duduk di teras sambil bercerita tentang
hubungannya dengan Edo. Aku berusaha menyimak kalimat demi kalimat yang di utarakan
Danisa. Percakapan sore itu dimulai dari sebuah mimpi kecil tentang hubungan mereka
yang nantinya akan menjadi sebuah keluarga yang bahagia. Danisa mengungkap
kembali pesan yang pernah disampaikan Alm. Ayah Edo.
“Waktu
itu beliau menanyakan apakah nantinya Edo akan serius denganku. Setelah itu
menasehati kalau besok Edo mencari istri tidak perlu perempuan dari keluarga
kaya dan berada. Yang terpenting sholehah, sederhana dan bisa membuatnya
bahagia.”
Bahkan
dulu aku dan Bona tidak pernah memikirkan hal itu. Kurasa aku masih terlalu
kecil untuk membahas hal-hal seperti itu. Dan masih terlalu jauh dari bayangan
kami. Karena sepandai-pandai tupai melompat pasti akan terjatuh juga.
Sepandai-pandai manusia meyusun rencana, pasti terkalahkan oleh rencana Tuhan.
Seperti sekarang ini, dulu yang ada dalam bayanganku aku dan Bona akan terus bersama-sama
melebur dalam rasa bahagia. Namun tidak untuk di kehidupan nyata. Kami memang
bahagia. Ya tentu saja kami bahagia. Karena dia sudah bahagia dengan pilihannya
untuk melepaskan diri maka aku juga ikut merasakan kebahagiaan itu. Meskipun
tidak sepenuhnya. Ahsudahlah.
“Tam?
Kamu kok malah bengong?”
Suara
Danisa yang agak berat membuyarkan lamunanku.
“Emmm…
aku setuju dengan itu. Bagaimanapun juga cinta tak butuh kekayaan.” Sebenarnya
aku juga bingung apa yang ingin kukatakan.
“Iya
Tam. Kekayaan itu bisa dicari bersama-sama. Itulah arti kebahagiaan yang
sesungguhnya.”
Aku
pikir semua yang diutarakan Danisa sudah cukup jelas. Ketika cinta datang tak
memandang rupa dan harta, maka kesederhanaan yang membuat keduanya terus
bersama. Tidak perlu cinta menjadi kambing hitam menghambur-hamburkan harta
padahal itu hanya milik orangtua. Tak perlu juga kelebihan yang kita punya
menjadikan kita semakin berlebihan.
Suasana
hening. Aku ingin memulai mencurahkan isi hatiku yang selama ini terpendam. Rasanya
sudah lama aku tak cerewet di depan Danisa. Aku rindu ini. Aku ngin banyak
bercerita denganmu Danisa. Aku yakin kau pasti mendengarkanku. Tapi niat itu
buru-buru kuurungkan karena Danisa sudah mulai membuka percakapan lagi.
Kali
ini yang menjadi topik pembicaraan yaitu seorang perempuan yang entah kami
harus menyebutnya sebagai apa. Orang-orang memanggilnya Maya. Aku sudah tidak
asing lagi mendengar namanya. Cocok sekali dengan namanya. Ternyata selama ini
Maya selalu menghubungi Edo meskipun hanya di dunia maya. Hampir setiap hari
manyapa bahkan seperti memberikan perhatian untuk Edo lewat jejaring sosial,
facebook. Dari awal Danisa sudah mengetahuinya tetapi hanya disimpan sendiri
tidak mau menceritakan pada orang lain, termasuk Edo. Danisa yang jengkel
dengan itu hanya bisa pasrah dan terdiam. Cukup tahu saja dan berusaha
menghadapi seseorang menurutnya itu adalah si gadis pengganggu.
Danisa
menggeser duduknya supaya lebih dekat denganku.
“Bahkan
baru tadi pagi aku tahu kalau ternyata kemarin mereka berboncengan. Mereka kaya
gitu di belakangku Tam!” Katanya sambil mempertahankan bibirnya untuk tetap berucap.
“Siapa
yang ngasih tahu kamu Dan?”
“Dari
saudaraku yang kebetulan waktu itu juga perginya bersamaan.”
“Kenapa
Edo nggak bilang sendiri ya?”
“Mana
berani? Bona aja juga nggak bilang ke aku Tam.”
“Bukannya
biasanya Edo sama Bona? Gimana sih?”
“Bona
sama saudaraku itu Tam. Aku harus gimana ini Tam?”
Aku
berusaha menenangkannya. Aku merangkulnya erat kemudian dia menangis lepas. Kubiarkan
kesempatan untuk menumpahkan airmatanya yang sudah tertahan dari tadi. Kejadian
itu bermula ketika ada kegiatan club di luar lapangan. Kalau ini untuk masalah profesionalitas dalam pekerjaan pantaskah Danisa
menghakimi keduanya? Aku dan Danisa juga sudah tahu bahwa keduanya mengikuti
club yang sama, jadi mau tidak mau harus berkomunikasi. Tapi apakah ini yang disebut komunikasi? Yang sangat disayangkan,
mengapa Danisa harus mendengar itu dari orang lain bukan dari Edo sendiri? Seharusnya
keduanya harus saling terbuka. Agar tidak ada yang merasa terabaikan dan tidak
dihargai keberadaannya.
Ku
perhatikan setiap gerakan bola matanya yang hitam kecoklatan itu. Ada rasa
benci yang tertanam di matanya. Sangat mengiris hati bila ia mengigat dan
membayangkan kejadian itu secara langsung. Aku tahu bagaimana perasaannya saat
ini.
“Tam
kenapa harus dia?” tanyanya sambil terisak.
“Kenapa
kau tanyanya begitu?”
“Dia
emang mau merusak hubunganku dengan Edo. Argh!”
“Kamu
udah coba menghubungi Edo.”
“Udah.
Akhirnya dia kejebak Tam.”
“Kejebak
gimana maksudnya?”
“Ya
gitulah. Dia ngotot minta maaf. Tapi aku nggak nanggepin.”
“Loh
kok gitu? Kan dia udah minta maaf?” tanyaku balik sambil mengusapkan
airmatanya.
“Sakit
Tam. Sakit banget.”
“Apa
nggak lebih sakit kalau seseorang yang kamu cintai minta maaf nggak kamu
berikan reaksi dengan semestinya. Katanya Danisa strong woman? Masa iya kalah
sama Maya?”
“Ih
Tami. Aku nggak kalah sama Maya. Yang dapetin Edo kan aku bukan Maya. Siapa sih
dia?”
“Cie
ini virus-virus cemburu belum mau pergi,” godaku sambil menggelitikinya.
“Gini
ya resikonya orang kalau cinta dan sayangnya terlalu dalem. Sakitnya pasti
dalem.”
Pelan-pelan
aku berbicara dengannya. Dengan suara lirih. Aku mencoba meyakinknnya.
“Danisa
cantik dengerin aku ya. Kamu sudah pacaran lama sama Edo. Kamu pasti juga udah
tahu apapun yang terbaik untuk hubungan kalian. Tiap orang berhubungan, apalagi
pacaran tidak semata-mata dijalani hanya 2 orang. Tapi sudah menjadi hal pasti
jika ada orang lain di dalamnya. Tergantung kita menyikapinya bagaimana. Kamu pasti
yang terbaik untuk kalian.”
“Dari
awal sudah kubilang kalau kita mencintai apapun tidak perlu berlebih. Agar tidak
ada yang merasakan sakit berlebih nantinya. Ya walaupun inginnya selalu
bahagia, tapi hidup ini tak selamanya berjalan dengan lurus dan mulus. Pandai-pandai
ikhlas dan bersyukur atas apa yang kita miliki. Secara otomatis akan tercipta
sebuah cinta yang sederhana. Dan kebahagiaan selalu terselip di antaranya,” jelasku
panjang lebar.
Akhirnya
Danisa menerima ocehanku dengan lapang dada. Dia menghentikan tangisnya kemudian
memandangku, menyimpulkan bibir manisnya, dan tersenyum bahagia dalam waktu
yang cukup lama. Aku menggandeng tangannya seraya tak mau lepas darinya. Begitupun
dia. Sebenarnya aku sangat tidak tega melihatnya selalu menangis.
Aku
jadi makin mengurungkan niat untuk bercerita dengannya. Lain kali lagi aku
berjanji untuk mengeluarkan seluruh isi hatiku yang selama ini terpendam. Pasti
ada sendiri waktunya. Tuhan sudah menyiapkan dan aku tinggal menjalankan. Aku berbisik
sangat lirih berusaha tidak terdengar olehnya,
“Aku
tidak ingin merusak kebahagiaanmu, sahabatku.”
-The End-
Huaaaaaaaaaahhhmmmm. Finally I finished my absurd story. Jam berapa ya sekarang? Kayanya udah pagi deh? Udah tanggal 18 dong? Yaaaaaaaaaaaaaaahhhhhh maafin ya Ryolku :( Kalau kamu baca ini jangan mbatin apa-apa ya plis! I'am sory to write your story jadi begini. Uhhhm kamu boleh menghukumku. Silahkan. #akuorapopo
Untuk pembaca lainnya. Lets enjoy ya semoga mengecewakan tapi tetep bermanfaat. Jangan lupa membaca lagi ya. Next time kita ketemu. Aku mau makan dulu. Baru deh tidur. Duh kesehatanmu Kidut!!!!!!
Selamat tengah malam. Loveyou Kiduters <3