Selasa, 17 Desember 2013

Cinta Sederhana


Cinta Sederhana

Siapa yang tahu kejutan menarik di balik harmonisnya hubungan Danisa dan Edo? Mungkin hanya orang-orang tertentu yang mengetahuinya. Dan bisa jadi satu di antaranya yaitu aku. Aku merasa cukup beruntung. Meskipun aku tidak mengikuti perjalanan kisah asmaranya mulai dari awal. Tetapi setidaknya aku berkesempatan untuk menjadi seseorang yang entah mereka menganggapnya apa. Aku merasa cukup beruntung. Aku ada di antara mereka. Aku belajar tentang cinta yang sederhana.

“Kamu tau nggak awal ceritanya mereka?”
“Cerita apa?”
“Ya awal pertemuan mereka, pacaran sampe sekarang.”
“Tau. Kita udah lama kenal.”
“Ohya? Gimana?”
“Gimana apanya?”
“Ceritanya.”
“Ya gitu lah.”
“Gitu gimana?”
“Pokoknya gitu deh!”
“Kasih tau lah.”
“Bingung.”
“Kok bingung?”
“Ya emang ceritanya membingungkan.”
“Oh.”

Karena malas untuk menanyakan lebih jauh dengan jawaban yang sama sekali tidak memuaskan akupun menghentikan percakapan itu dengan seorang narasumber yang nyaris tidak pantas disebut sebagai narasumber. Hanya sekedar penjawab pertanyaan dengan padat dan singkat. Aku menggelengkan kepalaku di hadapan Bona. Sesorang pemuda yang aku indahkan dulu. Sekarang pun masih begitu. Meskipun dia kini tak menganggap keberadaanku. Satu-satunya harapan untukku mendapatkan jawaban yang kuinginkan. Tetapi hal itu hanya keinginan semata. Banyak yang berbeda di antara kami setelah peristiwa di hari minggu pagi sekitar 4 bulan yang lalu. Aku memakluminya. Dan sudah seharusnya semua berubah karena roda kehidupan yang terus berputar seiring dengan berjalannya waku. Kamu yang dulu sangat antusias untuk mendengarkan ceritaku, menjawab pertanyaanku, apalagi hanya sekedar menertawakan hal-hal bodoh yang aku lakukan. Tapi itu dulu. Iya dulu.

Kupikir aku dan Bona akan selalu berjalan beriringan bersama Danisa dan Edo. Tetapi itu hanya sebuah harapan yang (mungkin) belum dikabulkan. Aku hanya bisa berharap, berharap, dan terus berharap. Apanya gunanya harapan tanpa ada kenyataan? Semua yang terjadi dan yang kita lewati rasanya secepat kilat yang menyambar ketika awan hitam pekat menyalimuti langit. Secepat itu datangnya. Secepat itu perginya. Kupikir kita semua akan berjuang bersama-sama demi terciptanya kedamaian dan ketenangan. Namun kini sudah tidak lagi sama. Ibarat kita berjalan dan menemukan persimpangan, mereka berjalan menuju jalan yang berbeda denganku. Ketika mereka tetap berjalan lurus aku memilih untuk berbelok.  Iya kami masih sama-sama berjalan namun berjalan di lintasan yang berbeda. Ku rasa mereka sudah bahagia tanpa adanya aku. Bahkan lebih bahagia. Dan aku merasa keberadaanku yang seringkali tak dihiraukan. Entah itu hanya peasaanku saja atau memang begitu realitanya. Tetapi aku masih akan terus membutuhkannya karena aku bukan apa-apa tanpa mereka meskipun aku bukan apa-apa di depan mereka.

----

Sore itu di depan rumah Danisa. Kami duduk di teras sambil bercerita tentang hubungannya dengan Edo. Aku berusaha menyimak kalimat demi kalimat yang di utarakan Danisa. Percakapan sore itu dimulai dari sebuah mimpi kecil tentang hubungan mereka yang nantinya akan menjadi sebuah keluarga yang bahagia. Danisa mengungkap kembali pesan yang pernah disampaikan Alm. Ayah Edo.
 “Waktu itu beliau menanyakan apakah nantinya Edo akan serius denganku. Setelah itu menasehati kalau besok Edo mencari istri tidak perlu perempuan dari keluarga kaya dan berada. Yang terpenting sholehah, sederhana dan bisa membuatnya bahagia.”

Bahkan dulu aku dan Bona tidak pernah memikirkan hal itu. Kurasa aku masih terlalu kecil untuk membahas hal-hal seperti itu. Dan masih terlalu jauh dari bayangan kami. Karena sepandai-pandai tupai melompat pasti akan terjatuh juga. Sepandai-pandai manusia meyusun rencana, pasti terkalahkan oleh rencana Tuhan. Seperti sekarang ini, dulu yang ada dalam bayanganku aku dan Bona akan terus bersama-sama melebur dalam rasa bahagia. Namun tidak untuk di kehidupan nyata. Kami memang bahagia. Ya tentu saja kami bahagia. Karena dia sudah bahagia dengan pilihannya untuk melepaskan diri maka aku juga ikut merasakan kebahagiaan itu. Meskipun tidak sepenuhnya. Ahsudahlah.

“Tam? Kamu kok malah bengong?”

Suara Danisa yang agak berat membuyarkan lamunanku.

“Emmm… aku setuju dengan itu. Bagaimanapun juga cinta tak butuh kekayaan.” Sebenarnya aku juga bingung apa yang ingin kukatakan.

“Iya Tam. Kekayaan itu bisa dicari bersama-sama. Itulah arti kebahagiaan yang sesungguhnya.” 

Aku pikir semua yang diutarakan Danisa sudah cukup jelas. Ketika cinta datang tak memandang rupa dan harta, maka kesederhanaan yang membuat keduanya terus bersama. Tidak perlu cinta menjadi kambing hitam menghambur-hamburkan harta padahal itu hanya milik orangtua. Tak perlu juga kelebihan yang kita punya menjadikan kita semakin berlebihan.

Suasana hening. Aku ingin memulai mencurahkan isi hatiku yang selama ini terpendam. Rasanya sudah lama aku tak cerewet di depan Danisa. Aku rindu ini. Aku ngin banyak bercerita denganmu Danisa. Aku yakin kau pasti mendengarkanku. Tapi niat itu buru-buru kuurungkan karena Danisa sudah mulai membuka percakapan lagi.

Kali ini yang menjadi topik pembicaraan yaitu seorang perempuan yang entah kami harus menyebutnya sebagai apa. Orang-orang memanggilnya Maya. Aku sudah tidak asing lagi mendengar namanya. Cocok sekali dengan namanya. Ternyata selama ini Maya selalu menghubungi Edo meskipun hanya di dunia maya. Hampir setiap hari manyapa bahkan seperti memberikan perhatian untuk Edo lewat jejaring sosial, facebook. Dari awal Danisa sudah mengetahuinya tetapi hanya disimpan sendiri tidak mau menceritakan pada orang lain, termasuk Edo. Danisa yang jengkel dengan itu hanya bisa pasrah dan terdiam. Cukup tahu saja dan berusaha menghadapi seseorang menurutnya itu adalah si gadis pengganggu.

Danisa menggeser duduknya supaya lebih dekat denganku. 

“Bahkan baru tadi pagi aku tahu kalau ternyata kemarin mereka berboncengan. Mereka kaya gitu di belakangku Tam!” Katanya sambil mempertahankan bibirnya untuk tetap berucap.
“Siapa yang ngasih tahu kamu Dan?”
“Dari saudaraku yang kebetulan waktu itu juga perginya bersamaan.”
“Kenapa Edo nggak bilang sendiri ya?”
“Mana berani? Bona aja juga nggak bilang ke aku Tam.”
“Bukannya biasanya Edo sama Bona? Gimana sih?”
“Bona sama saudaraku itu Tam. Aku harus gimana ini Tam?”

Aku berusaha menenangkannya. Aku merangkulnya erat kemudian dia menangis lepas. Kubiarkan kesempatan untuk menumpahkan airmatanya yang sudah tertahan dari tadi. Kejadian itu bermula ketika ada kegiatan club di luar lapangan. Kalau ini untuk masalah profesionalitas dalam pekerjaan pantaskah Danisa menghakimi keduanya? Aku dan Danisa juga sudah tahu bahwa keduanya mengikuti club yang sama, jadi mau tidak mau harus berkomunikasi. Tapi apakah ini yang disebut komunikasi? Yang sangat disayangkan, mengapa Danisa harus mendengar itu dari orang lain bukan dari Edo sendiri? Seharusnya keduanya harus saling terbuka. Agar tidak ada yang merasa terabaikan dan tidak dihargai keberadaannya.

Ku perhatikan setiap gerakan bola matanya yang hitam kecoklatan itu. Ada rasa benci yang tertanam di matanya. Sangat mengiris hati bila ia mengigat dan membayangkan kejadian itu secara langsung. Aku tahu bagaimana perasaannya saat ini.

“Tam kenapa harus dia?” tanyanya sambil terisak.
“Kenapa kau tanyanya begitu?”
“Dia emang mau merusak hubunganku dengan Edo. Argh!”
“Kamu udah coba menghubungi Edo.”
“Udah. Akhirnya dia kejebak Tam.”
“Kejebak gimana maksudnya?”
“Ya gitulah. Dia ngotot minta maaf. Tapi aku nggak nanggepin.”
“Loh kok gitu? Kan dia udah minta maaf?” tanyaku balik sambil mengusapkan airmatanya.
“Sakit Tam. Sakit banget.”
“Apa nggak lebih sakit kalau seseorang yang kamu cintai minta maaf nggak kamu berikan reaksi dengan semestinya. Katanya Danisa strong woman? Masa iya kalah sama Maya?”
“Ih Tami. Aku nggak kalah sama Maya. Yang dapetin Edo kan aku bukan Maya. Siapa sih dia?”
“Cie ini virus-virus cemburu belum mau pergi,” godaku sambil menggelitikinya.
“Gini ya resikonya orang kalau cinta dan sayangnya terlalu dalem. Sakitnya pasti dalem.”
Pelan-pelan aku berbicara dengannya. Dengan suara lirih. Aku mencoba meyakinknnya.

“Danisa cantik dengerin aku ya. Kamu sudah pacaran lama sama Edo. Kamu pasti juga udah tahu apapun yang terbaik untuk hubungan kalian. Tiap orang berhubungan, apalagi pacaran tidak semata-mata dijalani hanya 2 orang. Tapi sudah menjadi hal pasti jika ada orang lain di dalamnya. Tergantung kita menyikapinya bagaimana. Kamu pasti yang terbaik untuk kalian.”

“Dari awal sudah kubilang kalau kita mencintai apapun tidak perlu berlebih. Agar tidak ada yang merasakan sakit berlebih nantinya. Ya walaupun inginnya selalu bahagia, tapi hidup ini tak selamanya berjalan dengan lurus dan mulus. Pandai-pandai ikhlas dan bersyukur atas apa yang kita miliki. Secara otomatis akan tercipta sebuah cinta yang sederhana. Dan kebahagiaan selalu terselip di antaranya,” jelasku panjang lebar.

Akhirnya Danisa menerima ocehanku dengan lapang dada. Dia menghentikan tangisnya kemudian memandangku, menyimpulkan bibir manisnya, dan tersenyum bahagia dalam waktu yang cukup lama. Aku menggandeng tangannya seraya tak mau lepas darinya. Begitupun dia. Sebenarnya aku sangat tidak tega melihatnya selalu menangis. 

Aku jadi makin mengurungkan niat untuk bercerita dengannya. Lain kali lagi aku berjanji untuk mengeluarkan seluruh isi hatiku yang selama ini terpendam. Pasti ada sendiri waktunya. Tuhan sudah menyiapkan dan aku tinggal menjalankan. Aku berbisik sangat lirih berusaha tidak terdengar olehnya,

“Aku tidak ingin merusak kebahagiaanmu, sahabatku.” 

-The End-





Huaaaaaaaaaahhhmmmm. Finally I finished my absurd story. Jam berapa ya sekarang? Kayanya udah pagi deh? Udah tanggal 18 dong? Yaaaaaaaaaaaaaaahhhhhh maafin ya Ryolku :( Kalau kamu baca ini jangan mbatin apa-apa ya plis! I'am sory to write your story jadi begini. Uhhhm kamu boleh menghukumku. Silahkan. #akuorapopo
Untuk pembaca lainnya. Lets enjoy ya semoga mengecewakan tapi tetep bermanfaat. Jangan lupa membaca lagi ya. Next time kita ketemu. Aku mau makan dulu. Baru deh tidur. Duh kesehatanmu Kidut!!!!!!

Selamat tengah malam. Loveyou Kiduters <3