Sabtu, 19 Oktober 2013

Reportase


Assalamualaikum wr.wb.

Haaaaaaaaaaaaay kita ketemu lagi di malam minggu yang super duper WAW. Terserah nganggepnya WAW gimana (haha).  Malem ini berpikir dan bekerja keras menggarap garapan dari Pak Hari , guru Bahasa Indonesia untuk membuat semacam reportase gitu deh. Udah dikasih referensi contoh reportase. Ini yang nulis putri Pak Hari sendiri yang sedang bertugas di Amsterdam. IIIIHH WAAAAWW. Ehm sekarang waktunya fokus dengan tugas. Ayo Kidut coba niru tulisan-tulisannya ini siapa tahu bisa ketularan. Amin Ya Allah. Amin.

Laporan dari Amsterdam #1
Ketika Ibu-ibu Galau, Ambisius Sekaligus Ingin Manjakan Anak
AN Uyung Pramudiarja - detikHealth
Selasa, 15/10/2013 09:16 WIB

Amsterdam, Belanda, Beberapa perwakilan pelajar Indonesia di Belanda mengaku punya orang tua ambisius, banyak mengarahkan anak agar punya nilai lebih dalam perkembangannya. Banyak yang berhasil, namun tak sedikit pula orang tua yang malah jadi galau.

Anna Surti Ariani, psikolog anak dan keluarga dari Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia menyebut orang tua seperti ini sebagai tipe orang tua moderat. Tidak sekadar memberi kebebasan pada anak, tetapi punya ambisi dan cita-cita tertentu dari sang anak.

Psikolog yang akrab dipanggil Nina ini berpendapat, tuntutan zaman belakangan ini cenderung banyak melahirkan tipe orang tua moderat. Pada zaman dahulu, anak-anak dididik untuk disiplin dengan cara-cara otoriter misalnya diomeli dan dimarah-marahi.

Saat tumbuh dewasa, mereka mengalami semacam trauma yang membuatnya melakukan hal sebaliknya pada anak-anaknya. Artinya, sebagian dari mereka lantas memperlakukan anaknya dengan lebih permisif karena tahu bahwa diomeli itu tidak enak. Namun hasilnya hasilnya adalah anak-anak yang manja, daya juangnya rendah, tidak sensitif, dan sulit hidup mandiri.

Menurut Nina, hal ini mendorong munculnya tipe orang tua yang mengombinasikan nilai-nilai disiplin yang ia dapat dari zaman dahulu dengan kelembutan dari tipe orang tua yang permisif. Kombinasi itulah yang kemudian disebut dengan tipe orang tua moderat, dan banyak dianjurkan para psikolog.
"Ibu-ibu sekarang jadinya agak-agak galau, antara ingin memanjakan anak tapi mereka tahu memanjakan itu nggak benar," jelas Nina kepada detikHealth, seperti ditulis pada Selasa (15/10/2013).

Nina menjelaskan, dalam psikologi dikenal ada 4 jenis parenting style. Moderat dan permisif adalah 2 di antaranya, sedangkan sisanya adalah otoriter dan neglect yang sama-sama ekstrem. Jika otoriter terlalu membatasi anak, neglect sama sekali tidak mengurusi anak. "Produk oran tua neglect itu contohnya ya anak-anak yang mainin HP melulu," kata Nina.

Laporan dari Amsterdam #2
Agar Anak Lebih Penurut, Perlukah Ada Sosok yang Disegani?
AN Uyung Pramudiarja - detikHealt

Selasa, 15/10/2013 11:58 WIB
http://newopenx.detik.com/delivery/lg.php?bannerid=415&campaignid=3&zoneid=236&loc=1&referer=http%3A%2F%2Fhealth.detik.com%2Fread%2F2013%2F10%2F15%2F115817%2F2386284%2F1301%2Fagar-anak-lebih-penurut-perlukah-ada-sosok-yang-disegani&cb=5a10f860b1

Amsterdam, Belanda, Menghadapi anak yang susah diatur terkadang memang melelahkan. Beberapa orang tua beranggapan, adanya sosok yang ditakuti atau disegani oleh anak akan membuat kebandelan anak lebih mudah diatasi. Tapi perlukah anak ditakut-takuti?

Psikolog anak dan keluarga dari Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani alias Nina membenarkan perlunya sikap tegas dari orang tua saat mendampingi anak. Namun caranya tidak dengan menakut-nakuti anak melalui sosok tertentu, baik ayah atau siapapun.

"Menurut saya tidak perlu ada yang ditakuti. Yang diperlukan justru sosok yang benar-benar disayangi. Asal bisa tegas, maka pada sosok itulah anak akan menurut," kata Nina kepada detikHealth, seperti ditulis pada Selasa (15/10/2013).

Adanya sosok yang ditakuti anak, secara psikologis justru tidak menguntungkan. Anak-anak yang terbiasa ditakut-takuti, diomeli dan dimarahi cenderung tumbuh menjadi anak yang kurang peka pada lingkungan di sekitarnya. Ia hanya peka pada omelan dan hal-hal menakutkan.

Sederhananya, anak yang terbiasa dimarahi cenderung kurang sensitif untuk memproses perkataan yang disampaikan dengan cara-cara yang lebih halus. Untuk bisa lebih tersampaikan, perkataan itu juga harus disampaikan dengan marah-marah karena otaknya lebih mudah memproses hal-hal yang demikian.

Lain halnya jika anak memiliki sosok yang sangat disayang, misalnya ibu. Saat si anak melakukan hal-hal yang tidak semestinya, sang ibu hanya perlu diam atau menunjukkan sikap berbeda sebagai tanda bahwa ia tidak suka. Tidak perlu marah, anak akan terlatih untuk tidak mengecewakan orang yang sangat dia sayang.

"Saya juga sudah buktikan di keluarga saya sendiri. Saya dan suami dekat sekali dengan anak-anak. Misalnya ada sesuatu yang salah, tinggal saya diamkan saja mereka sudah sensitif, tahu kalau bapak ibu tidak suka," kata Nina.

Laporan dari Amsterdam #3
Psikolog: Demi Masa Depan Anak, Orang Tua Boleh Sedikit Ambisius
AN Uyung Pramudiarja - detikHealth

Senin, 14/10/2013 14:56 WIB
http://newopenx.detik.com/delivery/lg.php?bannerid=415&campaignid=3&zoneid=236&loc=1&referer=http%3A%2F%2Fhealth.detik.com%2Fread%2F2013%2F10%2F14%2F145628%2F2386004%2F1301%2Fpsikolog-demi-masa-depan-anak-orang-tua-boleh-sedikit-ambisius&cb=652338949c

Amsterdam, Orang tua mana yang tak ingin anak-anaknya sukses di masa depan? Memberi kebebasan anak untuk melakukan apa yang disukainya memang perlu, tetapi itu saja tentu tidak cukup karena tidak akan mengarahkan anak ke mana-mana.

Handika Prasetya, seorang mahasiswa S-2 jurusan Teknik Kimia di University of Twente mengaku dibesarkan oleh orang tua yang agak ambisius. Bukan orang tua yang otoriter atau memaksakan kehendak, tetapi juga tidak membiarkannya tumbuh tanpa tujuan hidup yang jelas.

"Sejak kecil disiplin, dimonitor jam belajar dan bermainnya," kata Dika, demikian ia disapa, dalam pertemuan antara perwakilan dari PT Sari Husada dengan perwakilan pelajar Indonesia di Belanda. Pertemuan berlangsung di Longpura Restaurant, Rozengracht, Amsterdam baru-baru ini, seperti ditulis pada Senin (14/10/2013).

Hal yang sama juga dialami oleh Floretta Niode, atau akrab dipanggil Flo. Sejak kecil orang tuanya cukup disiplin mengarahkan belajarnya, termasuk mendaftarkan dirinya untuk ikut les. Begitu pun dengan pilihan pekerjaan, orang tuanya punya arahan sejak dirinya masih kecil.

"Orang tua saya cuma tahu 2 profesi, yakni dokter atau insinyur," kata Flo yang akhirnya lulus dari jurusan Teknik Industri Universitas Parahyangan, dan kini juga tengah menempuh pendidikan S-2 di Belanda, mendalami bidang Operation Research.

Bisa dikatakan, Dika dan Flo merupakan produk orang tua yang tidak begitu saja membiarkan anaknya melakukan apa yang disukainya. Ada ambisi tertentu yang ditanamkan oleh orang tua, yang sedikit banyak telah mengarahkan jalan hidupnya hingga saat ini.

Psikolog anak dan keluarga dari Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani, menyebut tipe orang tua seperti ini sebagai tipe moderat atau autoritatif. Berbeda dengan tipe orang tua otoriter, tipe autoritatif tidak memaksakan kehendak melainkan hanya mengarahkan

Laporan dari Amsterdam #4
Serunya Belajar 'Suka-suka' Ala Anak-anak SD di Amsterdam
AN Uyung Pramudiarja – detikHealth

Rabu, 09/10/2013 07:13 WIB
http://newopenx.detik.com/delivery/lg.php?bannerid=415&campaignid=3&zoneid=236&loc=1&referer=http%3A%2F%2Fhealth.detik.com%2Fread%2F2013%2F10%2F09%2F071333%2F2381929%2F763%2Fserunya-belajar-suka-suka-ala-anak-anak-sd-di-amsterdam&cb=56f8bdcf10

Amsterdam, Duduk diam mendengarkan guru mengajar di depan kelas rasanya pasti membosankan. Lain halnya bila murid-murid dibiarkan suka-suka melakukan apa saja yang diinginkannya, maka perasaan gembira akan lebih menyemangatinya untuk belajar.

Cara belajar suka-suka semacam itu tampak di Schreuder Institute, sebuah sekolah untuk anak-anak setingkat TK dan SD di Amsterdam. Di salah satu kelas, sekitar 25 anak tampak bebas bermain apa saja dan guru hanya mengawasi sambil sesekali berinteraksi.

Di depan kelas ada bak kecil berisi pasir. Beberapa anak tampak asyik memainkannya, membuat bentuk tertentu dengan cetakan-cetakan dari gelas plastik. Anak-anak yang lain berada di dalam kelas, ada yang bermain bola dan ada pula yang main panjat-panjatan.

Dari beberapa kelas yang dikunjungi, tidak tampak ada guru mengajar di depan kelas kemudian murid-murid duduk mendengarkan. Semua bermain suka-suka, sedangkan gurunya hanya mendampingi.

"Untuk anak sekolah dasar, yang paling dibutuhkan adalah perasaan happy," kata Elwin Swinkels, asisten direktur Schreuder Institute, kepada wartawan yang berkunjung ke sekolah tersebut atas undangan PT Sari Husada, seperti ditulis Rabu (9/10/2013).

Sistem pengajaran yang diterapkan di sekolah ini memang memberi ruang pada para murid untuk melakukan apa saja yang mereka suka, sepuasnya hingga masing-masing merasa gembira. Saat para murid merasa gembira, maka motivasi untuk belajar akan lebih besar.

Anna Surti Ariani, seorang psikolog anak yang turut serta dalam kunjungan tersebut membenarkan pentingnya perasaan happy atau gembira bagi anak-anak di sekolah. Menurutnya, rasa gembira akan mengaktifkan sistem limbik yang berhubungan erat dengan emosi.

"Bila sistem limbiknya oke, emosinya akan lebih positif. Emosi positif membuat anak-anak tersebut menyalurkan energinya untuk hal-hal positif," tutur psikolog yang lebih akrab disapa Nina ini.

Nina berpendapat sistem yang diterapkan di Schreuder Institute tersebut cukup menarik. Menurutnya, beberapa sekolah yang berkualitas bagus di Indonesia juga sudah yang menerapkan pola-pola belajar yang menggembirakan seperti itu.

Laporan dari Amsterdam #5
Bukan Sekadar Seru, Ini Istimewanya Main Ayunan di Mata Psikolog
AN Uyung Pramudiarja – detikHealth

Rabu, 09/10/2013 09:36 WIB
http://newopenx.detik.com/delivery/lg.php?bannerid=415&campaignid=3&zoneid=236&loc=1&referer=http%3A%2F%2Fhealth.detik.com%2Fread%2F2013%2F10%2F09%2F093140%2F2382031%2F763%2Fbukan-sekadar-seru-ini-istimewanya-main-ayunan-di-mata-psikolog&cb=e4b8cecb1a

Amsterdam, Ada yang menarik dalam kunjungan ke Schreuder Institute di Amsterdam, baru-baru ini. Beberapa murid setingkat SD duduk di sebuah ayunan panjang yang tergantung di langit-langit ruang kelas, lalu seorang temannya mengayunkannya sekuat tenaga.

Tidak ada yang menjerit ketakutan meski ayunan itu berayun begitu kencang. Semua berteriak gembira, sepertinya malah minta diayun lebih kencang. Setelah puas, yang semula diayun berganti posisi menjadi pengayun. Begitu seterusnya dan semuanya terus tertawa.

Pemandangan ini tampak di sebuah kelas, semacam kelas olahraga, di Schreuder Institute. Sekolah setingkat TK dan SD ini terletak di seberang Museum Van Gogh dan Rijkmuseum, di Kota Amstredam, Belanda.

Sepintas memang tidak ada yang istimewa selain ukuran ayunannya yang cukup besar sehingga bisa diduduki 5 anak sekaligus. Selebihnya, ayunan adalah mainan standar yang ada di sekolah manapun, termasuk hampir semua sekolah di Indonesia.

Namun di balik serunya bermain ayunan, psikolog anak Anna Surti Ariani melihat hal yang istimewa dari permainan ini. Menurutnya, ayunan seperti yang ditemuinya di Schreuder Institute kerap digunakan sebagai alat terapi.

"Permainan ini merangsang sensorik vestibular, yang hubungannya dengan keseimbangan," kata Anna yang juga kerap disapa Nina, dalam kunjungan ke Amsterdam bersama wartawan atas undangan PT Sari Husada, seperti ditulis Rabu (9/10/2013).

Bukan cuma melatih keseimbangan, rangsangan pada sensorik versitbular juga akan berpengaruh pada perilaku. Menurutnya, anak-anak yang terlatih keseimbangannya akan lebih cekatan mengantisipasi hal-hal yang tidak terduga.

"Anak tersebut menjadi lebih pemberani," lanjut Nina.

Tak heran jika murid-murid Schreuder Institute cukup berani menyampaikan protes saat beberapa wartawan membidikkan kamera ke arah mereka. Beberapa murid yang merasa tidak nyaman diambil gambarnya, secara spontan langsung mendekat, berkacak pinggang sambil berujar, "No picture! Please, no picture!"