Sayur Bayam
I remember what
you wore on the first day
You came into my life and I thought
"Hey, you know, this could be something"
’Cause everything you do and words you say
You know that it all takes my breath away
And now I’m left with nothing
You came into my life and I thought
"Hey, you know, this could be something"
’Cause everything you do and words you say
You know that it all takes my breath away
And now I’m left with nothing
So maybe it’s
true
That I can’t live without you
And maybe two is better than one
There’s so much time
To figure out the rest of my life
And you’ve already got me coming undone
And I’m thinking two is better than one
That I can’t live without you
And maybe two is better than one
There’s so much time
To figure out the rest of my life
And you’ve already got me coming undone
And I’m thinking two is better than one
I remember every
look upon your face
The way you roll your eyes
The way you taste
You make it hard for breathing
’Cause when I close my eyes and drift away
I think of you and everything’s okay
I’m finally now believing (Two is Better Than One – Taylor Swift)
The way you roll your eyes
The way you taste
You make it hard for breathing
’Cause when I close my eyes and drift away
I think of you and everything’s okay
I’m finally now believing (Two is Better Than One – Taylor Swift)
Dunia serasa
hanya ada kita. Aku, earphone, pensil,
dan buku catatan kecil berwarna merah cetar membahana. Buku ini berisikan
tentang peristiwa yang terjadi, tentangku, tentangnya, tentang semua. Semacam diary tapi bukan juga karena aku selalu
membawanya kemana saja dan sering dibaca orang lain. Malam ini aku membuka
halaman akhir-akhir yang kutulisi banyak lirik lagu. Siapa yang mengira aku
sedang belajar? Yah memang aku sedang belajar. Seperti apa yang pernah
dipesankan oleh Ayah untukku dan untuk adik laki-laki semata wayangku, Arga.
Nama yang bagus ya, Mega dan Arga. Awan dan Gunung, begitulah artinya menurut
bahasa jawa kata Ayah. Salah satu elemen langit yang selalu berada di atas dan
dapat berubah warna ketika berubahnya cuaca. Serta salah satu elemen bumi yang
tinggi dan dapat menembus awan. Ayah berpesan bahwa kami tak harus selalu
belajar dari buku, tapi kami juga harus bisa belajar dari peristiwa yang lalu
dan kami dituntut harus bisa belajar bersyukur atas apa yang telah Allah
berikan. Allah memberi kita mata, telinga, hidung, mulut, tangan, kaki, dan
organ tubuh lainnya dengan fungsi masing-masing. Kita juga diberikan kemampuan
untuk berfikir, meskipun tiap orang berbeda. Dan saat ini aku sedang berpikir
bagaimana bisa hafal dengan lirik lagi ini.
Dengan modal
suara yang cuma-cuma, aku coba saja terus manyanyi. Mengahafal lirik dan nada,
sekalian memperbaiki Bahasa Inggris yang masih amburadul. Karena terlalu keras
mengatur volume, suara Ibu dari depan kamar tak bisa kudengar. Ibu sudah
bersandar di daun pintu.
“Mbak Mega
dicari itu,” katanya lembut.
“Ha? Ada apa
Bu?” sambil melepas earphone.
“Ada yang
nyari. Keluar dulu sana.”
“Siapa ya?
Sebentar Bu.”
Oh ternyata
Mbak Devita yang mencariku. Seperti orang penting saja malam-malam begini masih
ada yang mencari. By the way,
terimakasih undangan acara TPA besok sore untukku dan Arga. Alhamdulillah masih
dipercayai untuk mengikuti kegiatan keagamaan di masjid.
“Mbak Mega
dari tadi siang belum makan?” tanya Ibu penuh perhatian.
“Belum lapar
Bu,” jawabku tak bersemangat.
“Kesehatanmunya
Mbak Mega.”
“Nggih Bu,
nanti dulu.”
Kujawab iya,
nggih, atau sebangsanya pun Ibu sudah cukup percaya. Karena Ibu selalu
mempercayaiku atas apa yang diperintahkan kepadaku. Tapi sudah menjadi
kebiasaanku makan dengan perintah bahkan paksaan. Orang-orang di rumah sampai
lelah ngomel-ngomel padaku hanya untuk memintaku makan. Sekitar pukul 10 malam
ini aku belum juga makan. Keasyikan mengerjakan tugas menulis cerita. Kamu nggak tahu kan kalau aku lagi-lagi
menjadikanmu tokoh dalam setiap penggarapan ceritaku. Hatiku kecilku mulai
berkata. Sambil menyelesaikan cerpen, aku masih juga memasang earphone di
telingaku. Dan teringat sesuatu, aku sedang menunggu kepulangan seseorang yang
meninggalkan rumah mengurusi proposal dari atasannya. Bayu. Yah, Bayu.
To
: Bayamku:)
Aku
nunggu km pulang lg ya ;)
From
: Bayamku:)
Nggak
usah aku plg malem
To
: Bayamku:)
Sekalian
ngerjain tugas kok. Hati2 ya pulangnya :)
From
: Bayamku:)
Yaa..
“Udah gitu aja
Bay?” aku mendegus kesal.
Aku selalu
mengkhawatirkannya tiap kali ia keluar malam. Terkadang rasa khawatirku yang over menjadikan bumerang terhadap
hubunganku dengan Bayu. Padahal ini bukan kali pertamanya dia pergi hingga
larut malam. Semestinya aku tak perlu kaget jika tiba-tiba Bayu pamit keluar.
-ooo-
Matahari
telah memerah di ufuk barat, sedikit demi sedikit mulai menghilang di balik
bukit –bukit kecil yang masih bisa terlihat di depan rumah. Aku masih duduk di
kursi kayu berukir indah di beranda rumah saat langit sudah merangkak mendekati
gelap. Sang surya telah kembali keperaduannya. Senja kini digantikan oleh
malam. Aku menyunggingkan senyum, tertegun melihat keindahan. Aku tak berani
membayangkan apa yang nanti malam akan terjadi. Karena pasti ada hal tak
terduga setiap harinya.
From: Bayamku:)
Aku mengurus proposal lg sm Rizal ya sayang.
Assalamuallaikum:*
Baru
aku selesai sholat maghrib handphone berkedip dan aku telah membaca pesan itu.
To: Bayamku:)
Have a safe trip, aku nunggu lg ya. Walaikumsalam :*
Beberapa
saat aku menunggu balasan, tapi tak juga handphoneku berkedip lagi. Akhirnya aku
segera menuju meja makan. Ada Kakung, Uti, Ayah, Ibu, dan Arga. Kebersamaan terasa
sangat menentramkan suasana yang tenang ini. Tak lupa, ini dia ada sayur bayam.
Sayur favoritku dan Bayu. Selama kami masih di fase PDKT (baca: pendekatan) Bayu
sering memanggilku dengan sebutan ‘Say’. Aku tahu maksudnya ‘Sayang’ tapi kan
belum afdol kalau belum pacaran. Hihi. Akhirnya aku plesetkan ‘Sayur’. Jadi jangan
heran kalau dulu Bayu memanggilku seperti PSK (baca: Pedagang Sayur Keliling).
Tak mau kalah, aku mengganti namanya ‘Bayam’ kupikir sudah banyak yang
memanggilnya Bayu, cari yang beda dari yang lain ya jadi Bayam. Cocokkan Bayu kalau
panggil sayur-sayur aku balasnya bayam-bayam. Tak hanya itu, dulu Cincau –
Cendol juga pernah menjadi trending topic kami. Penyebabnya juga pada kasus
yang sama.
“Ah…
Kita selalu melakukan hal bodoh yang sama sekali nggak mutu. Dan kapan akan terulang
kembali?”
Tiba-tiba
ada yang mengetuk pintu, mangucap salam, dan memanggil-manggil nama Kakung dan
Uti. Keduanya serempak membuka pintu dan mempersilahkan tamu itu masuk.
“Ada
apa malam-malam kesini Yu?”
“Bolehkah
aku minta sedikit makanan?”
“Ya
Allah, kau belum makan? Pantas kau pucat pasi. Dengan senang hati aku akan memberimu.”
“Terimakasih
hari ini aku tidak mendapatkan uang dari hasilku bekerja. Aku tak bisa beli beras.”
“Tunggu
dulu biar diambilkan Dewi.”
Sementara
Ibu menyiapkan untuk makan Yu Inem aku menyiapkan untuk dibawa pulang dengan rantang.
Sudah sepatutnya kita sesama, tanpa pandang bulu, membantu dan menolong saat mereka
kesulitan dan membutuhkan uluran tangan kita. Kami semua mau berbagi, dalam keadaan
apapun untuk yang lebih berhak dan membutuhkan, karena yang kita punya sekarang
ini hanya sementara dan hanyalah titipan dari Allah SWT. Meskipun terbatas,
tapi jika kita memberikannya dengan ikhlas, percayalah Tuhan akan menggantinya
yang lebih banyak.
“Yu,
ini untuk Mbak Upik di rumah. Kalau mau besok pagi ke sini lagi tak apa,” kataku
tulus.
“Terimakasih
Mbak Mega. Kau baik sekali,” pujinya.
“Sudah
seharusnya Yu, maaf hanya membantu seperti ini.”
“Ini
sudah cukup. Terimakasih banyak.” Katanya sambil menyalamiku.
“Salam
untuk Mbak Upik.”
“Njih.
Saya pulang dulu Pak, Bu, Mbak Mega.”
-ooo-
Hari
telah berganti, cerita pun berganti. Begitulah kalimat yang selalu terbayang
saat fajar mulai menyapa. Dia menyambutku dengan lembut. Cahayanya begitu kuat bersinar
menampakkan warna oranye. Usai sholat subuh aku berdiri santai di belakang rumah
dengan tangan bersedekap. Menikmati sunrise di minggu pagi yang cerah ini. Tak perlu
jauh-jauh kepantai atau kepegunungan untuk menyaksikan pemandangan yang super
duper menakjubkan. Lagi-lagi aku dikejutkan layar handphone di genggaman
tanganku berkedip.
From : 085xxxxxxxxx
Nanti kumpul di skul jam 10 ada tugas dari Pak Henri. Maaf tadi
malem blm smpt ksh kabar. Forward ya. Mbak Wida
To : 085xxxxxxxxx
Saaaap! Thk infonya mb. Alhamdulillah
“Ada
tugas apa lagi dari Pak Henri?” aku mulai bertanya-tanya.
Ah
sudahlah lihat nanti saja. Pasti ada hal tak terduga.
Di
sekolah…
“Ada
ralat dari Dinas, pementasan teater untuk FLS2N tingkat kabupaten ada 6 orang
yang tampil di atas stage.” Tutur
Mbak Wida.
“Lalu?
Maksudnya gimana Mbak?” tanyaku polos.
“Sekarang
kesempatan kalian unjuk gigi. Jangan kecil hati yang dulu belum kepilih seleksi.
Yang hanya ini yang tersisa, 6 orang sebagai pemain dan aku ditunjuk Pak Henri
menjadi sutradara. Untuk pembagian peran, kita menunggu dulu teks dari Pak
Henri. Jangan kecil hati yang dulu nggak kepilih seleksi. Sekarang hanya ini
yang tersisa, jangan sampai sia-sia. Walaupun 1 bulan waktu yang singkat, tapi
kalau kita niat dan tekun kita pasti bisa,” Jelasnya panjang lebar.
Aku
jadi terpikir sesuatu tentang sebab akibat aku memilih ekskul teater. Awalnya
hanya ingin coba-coba karena hanya ini satu-satunya ekskul yang berhubungan
dengan sastra. Sasaran pertama yaitu ekskul majalah sekolah atau majalah
dinding, tetapi ternyata tak ada programnya. Jadilah aku seperti ini di grup
teater. Memang banyak hal tak terduga dari sepengetahuan kita. Semoga ini awal
kesuksesanku. Amin.
-ooo-
Masalah
demi masalah datang silih berganti. Semoga menjadi bulan penuh berkah.
Permasalahan di teater tak hanya sekali dua kali menguji kami. Rasa malas dan
egois masing-masing menjadi faktor penyebab utamanya. Sampai di satu hari, kami
semua tidak fokus latihan dan hanya membahas tentang persoalannya. Tak jarang
Mbak Fara, teman satu angkatan Mbak Wida membuat lelucon. Hari ini latihan
hanya setengah-setengah dan lebih banyak pembekalan soal persiapan mental.
“Dek
Mega kamu itu kaya siapa gitu ya?” tanya Mbak Fara sambil menerawang.
“Siapa
Mbak? Keliatan kalau mukaku pasaran ya?”
“Bukan.
Kaya di kartun apa gitu aku lupa,” masih menerawang.
“Micky
mouse ya?” teriak Salwa dari depan pintu ruangan.
“Bukan.
Yang pacarnya popeye itu siapa?”
“Olive
ya?” balasku serempak dengan Salwa.
“Iya,
kamu mirip Olive!” ledeknya.
“Apanya
yang mirip Mbak?” tanyaku heran.
“Pokoknya
mirip, bentuk wajahnya.”
Aku
hanya senyum kecil malu-malu. Tepat sekali kedua di antara kami menyukai sayur
bayam. Bayam kan makanan popeye sehari-hari. Semoga saja Mbak Fara tadi tak
hanya sekedar mengolok-olok. Kalau aku
olive berarti Bayu popeye dong?
Aku
terdiam beberapa saat. Merasakan sesuatu yang tengah mengguncang hatiku.
Sepersekiandetik ku mencoba menutup semua imaginasi tentangmu. Memang bayangmu
yang selalu ada di angan-anganku. Tapi aku tak ingin bila aku selalu
mengimaginasikan dirimu. Karena yang aku ingin saat ini bukan imaginasi
tentangmu tetapi realita tentangmu. Seperti ada tirai tipis yang membatasi
kami.
Everytime I see
your face
Everytime you look my way
It's like it all falls into place
Everything feels right
But ever since you walked away
You left my life in disarray
All I want is one more day
It's all I need, One more day with you (Everytime – Simple Plan)
Everytime you look my way
It's like it all falls into place
Everything feels right
But ever since you walked away
You left my life in disarray
All I want is one more day
It's all I need, One more day with you (Everytime – Simple Plan)
“Pelan-pelan
aja bisa kan Meg?” tanya Mbak Wida kesal.
“Maaf Mbak,
pengaturan volumenya rusak,” sambil cengengesan. Aku memang sengaja memutar
lagu itu keras-keras. Agar dunia tahu, aku sedang menjadi korban lirik lagu
itu. Bayuuuuuuuu. Kembalilah wahai
sayangku.
Karena langit
sedang tak bersahabat, kami memutuskan untuk pulang. Langit gelap, kelabu, dan
sebentar lagi akan menangis. Aku keluar gerbang sekolah berbelok kiri. Aku
akan ke rumah Risa. Teman-teman sudah
menungguku di sana.
“Assalamualaikum,”
“Wa’alaikumsalam,
masuk sini Meg,” ujarnya lembut.
Aku tak segera
masuk karena masih harus member Ibu kalau sore ini aku terlambat. Aku tak berani pulang ke rumah karena tak
ingin banyak menanggung resiko. Hujan pasti datang di saat aku masih perjalanan
ke rumah dan aku tak membawa jas hujan. Ceroboh.
“Baru pulang
latihan Meg? Duh calon artis nih?” ledek Fira.
“Ya gitudeh,”
jawabku singkat. Seketika Sita menoleh dan menempelkan punggung tangannya ke
dahiku.
“Yang sakit sini bukan sini,” sambil menunjuk isi
hati. Ceilah.
“Kamu kenapa
Meg wajahmu kelihatan berat banget,” tanya Risa mendekatiku.
“Nggak papa
coy, santai aja lagi.”
“Kelihatan
bohongnya. Mata kamu bicara kamu lagi nggak baik,” tukas Fira.
Risa, Fira,
dan Sita adalah sahabat-sahabat ku sejak kami duduk di bangku SMP. Dulu mereka
selalu menjadi tempat aku mengeluarkan segala uneg-uneg. Mereka sudah hafal
betul bagaimana jika aku sedang menghadapi masalah dari level bawah hingga
level atas. Seperti kali ini, jelas sekali mereka cepat mengidentifikasi bahasa
tubuh, sorot mata, dan keiritan ekspresi yang aku suguhkan ke mereka. 5 menit
berlalu. Kami hanya diam membisu. Tak berani mengatakan sesuatu. Suasana
mendadak hening. Aku langsung merangkul ketiga sahabatku itu. Tangisku
terpecah. Semakin menjadi-jadi. Menggigit bibirku sendiri hingga memerah.
Nafasku makin tersendat-sendat. Mereka semua mencoba menenangkanku. Satu
persatu mereka membisikkan sesuatu ke telingaku.
Untuk Bayu. Aku ingin sekali kau merasakan
sesuatu mendidih di bahumu. Kemudian kau merasakan ada sesuatu yang mengalir di
kulit sekitar lenganmu. Dan kau akan melihat, pakaian yang kau kenakan basah.
Yang terakhir, kau menatapku wajah mungilku lembut penuh rasa kasih sayang.
Bayu jika Tuhan mengizinkan aku ingin menemuimu sekarang juga. Aku ingin
mengungkapkan semua yang ku rasakan. Aku selalu memendam semua ini sendirian.
“Dia sama
sekali nggak hubungin kamu?” tanya Fira ketus.
Menggeleng.
“Kamu nggak
coba ngomong sama dia?” giliran Sita.
Menggeleng.
“Dia tahu kamu
sedang tertekan?”
Menggeleng.
“Dia tahu kamu
selama ini melakukan 2 hal sekaligus? Menunggu dan mempertahankan!”
Menggeleng.
“Mega tolong
jawab! Aku nggak butuh gelengan kepala,” Risa mulai tak sabar.
Akhirnya
akupun bercerita tentang apa yang sedang aku alami dengan Bayu. Ngalor-ngidul.
Semuanya memperhatikan dengan seksama.
-ooo-
Tak lupa
mengucap basmallah untuk mengawali pagi ini. Lagi-lagi di pagi hari aku
menikmati keindahan sunrise ciptan-Nya. Lebih indah dari yang biasanya. Aku
mulai berharap pada sang mentari agar tetap setia menjagaku hingga dia pulang
lagi ke peraduannya. Aku memainkan handphone
di tanganku. Tiba-tiba teringat sesuatu. Aku menjepret langit jingga hasil
dari cahaya mentari yang bersiap menampakkan wajahnya. Kemudian aku
mengirimkannya via MMS untuk Bayu.
To
: Bayamku:)
Ku
harap kamu juga melihatnya pagi ini. Jika terpaksanya tidak, aku memberikanmu
gambar ini agar kamu tetap bisa menikmatinya. Kisah kita setiap saat yang
terjadi di bawah angkasa ini akan selalu terukir indah di alam pikiran kita,
kuharap begitu. Selamat pagi sayang semangat beraktivitas :)
Begitu aku
menyapa paginya, memberi semangat untuknya padahal aku sendiri tak mendapat
semangat pagi darinya, bahkan ucapan selamat pagi. Meskipun begitu, aku tetap
bisa merasakan semangat dari dalam diriku sendiri ketika aku mengungkap semua
anganku ke kamu.
Siang hari di
lobi sekolah.
“Nanti sore
gladi bersih di mana Meg?” Nina, sahabat bangkuku mendekat denganku.
“Di sekolah.
Besok jadi tuan rumah,” jawabku penuh sabar.
“Nanti nonton
dulu El, Dev harus ya!” ajaknya pada Elya dan Deva.
“Beres! Boleh
nonton kan Meg?”
“Kenapa tidak.
Aku seneng kalian mau nonton, apalagi gladi bersihnya,” senyum kecut.
“Mega kenapa?
Daritadi murung?” tanya Deva.
“Iya. Nggak
asik Meg.”
“Aku nggak
bisa seceria kemaren coy,” jawabku santai.
“Afaan (pake
f)? Jangan nangis Meg, teater kamu lho!”
“Bisa bagi
waktu kok tenang aja.”
“Ya tetep
jangan cemberut gitu ntar lama-lama mewek,” ujar Nina.
Dan ternyata
memang benar. Aku tak bisa membendung cairan bening yang sejak tadi sudah kupaksakan untuk bertahan.
Lemah. Ringkih. Aku menangis tak bersuara di bahu Nina. Pertama kali aku
berbagi keluh kesahku dengan mereka. Karena mereka yang setiap hari bersamaku.
-ooo-
“Selamat untuk
kita semua. Kalian luar biasa. Saya bangga dengan kalian. Selamat berjuang ke
tingkat selanjutnya. Banyak PR untuk kita semua. Memang benar, selalu ada
keajaiban di atas panggung di saat hari pementasan,” puji Pak Henri.
Ibu,
terimakasih atas doa-doa yang telah panjatkan selama ini, akhirnya aku pulang
membawa kebanggaan untukmu.
Sahabat-sahabatku,
terimakasih atas segala waktu yang kau luangkan untuk menyokong semangatku.
Kini aku membawa kebahagiaan untukmu semua.
Bayu,
terimakasih meskipun kau tak pernah menemaniku latihan, apalagi di sela-sela
kesibukanmu kau masih jarang menghubungiku ternyata kau masih
memperdulikanku. Ini juga untukmu. Ku
harap kau mengerti betapa berartinya aku untukmu. Dan ku harap kau paham
mengapa selama aku yang ada di sisimu.
Semua ini tentang harapan yang datang saat
keterpurukan.
Tentang impian yang ada di ambang
keputusasaan.
Tentang angan-angan yang muncul saat di
keheningan.
Tentang perjuangan di antara beribu
pengorbanan.
Dan tentang cinta yang membuat semua ini
bertahan.
-SELESAI-
Kamis, 05 September
2013
Cerpen ini tak
bisa mengantarkanku menjadi yang pertama *CRBT* Belum sempet di posting di
sini, belum sempet ngasih softcopy ke kamu biar kamu baca, eh kok malah udah
*ehm* Waktu memang berjalan dengan cepat. Hingga tak terasa kini semua telah
lepas dan bebas. Hanya permintaan maaf dan ucapan terimakasih tak terhingga
yang bisa terungkap dari suara hati. Kalah atau menang, lepas atau bertahan,
judulnya tetap Sayur Bayam! Smile :-)