Sabtu, 14 September 2013

Sayur Bayam


Sayur Bayam
I remember what you wore on the first day
You came into my life and I thought
"Hey, you know, this could be something"
’Cause everything you do and words you say
You know that it all takes my breath away
And now I’m left with nothing
So maybe it’s true
That I can’t live without you
And maybe two is better than one
There’s so much time
To figure out the rest of my life
And you’ve already got me coming undone
And I’m thinking two is better than one
I remember every look upon your face
The way you roll your eyes
The way you taste
You make it hard for breathing
’Cause when I close my eyes and drift away
I think of you and everything’s okay
I’m finally now believing (Two is Better Than One – Taylor Swift)

Dunia serasa hanya ada kita. Aku, earphone, pensil, dan buku catatan kecil berwarna merah cetar membahana. Buku ini berisikan tentang peristiwa yang terjadi, tentangku, tentangnya, tentang semua. Semacam diary tapi bukan juga karena aku selalu membawanya kemana saja dan sering dibaca orang lain. Malam ini aku membuka halaman akhir-akhir yang kutulisi banyak lirik lagu. Siapa yang mengira aku sedang belajar? Yah memang aku sedang belajar. Seperti apa yang pernah dipesankan oleh Ayah untukku dan untuk adik laki-laki semata wayangku, Arga. Nama yang bagus ya, Mega dan Arga. Awan dan Gunung, begitulah artinya menurut bahasa jawa kata Ayah. Salah satu elemen langit yang selalu berada di atas dan dapat berubah warna ketika berubahnya cuaca. Serta salah satu elemen bumi yang tinggi dan dapat menembus awan. Ayah berpesan bahwa kami tak harus selalu belajar dari buku, tapi kami juga harus bisa belajar dari peristiwa yang lalu dan kami dituntut harus bisa belajar bersyukur atas apa yang telah Allah berikan. Allah memberi kita mata, telinga, hidung, mulut, tangan, kaki, dan organ tubuh lainnya dengan fungsi masing-masing. Kita juga diberikan kemampuan untuk berfikir, meskipun tiap orang berbeda. Dan saat ini aku sedang berpikir bagaimana bisa hafal dengan lirik lagi ini.

Dengan modal suara yang cuma-cuma, aku coba saja terus manyanyi. Mengahafal lirik dan nada, sekalian memperbaiki Bahasa Inggris yang masih amburadul. Karena terlalu keras mengatur volume, suara Ibu dari depan kamar tak bisa kudengar. Ibu sudah bersandar di daun pintu.

“Mbak Mega dicari itu,” katanya lembut.
“Ha? Ada apa Bu?” sambil melepas earphone.
“Ada yang nyari. Keluar dulu sana.”
“Siapa ya? Sebentar Bu.”

Oh ternyata Mbak Devita yang mencariku. Seperti orang penting saja malam-malam begini masih ada yang mencari. By the way, terimakasih undangan acara TPA besok sore untukku dan Arga. Alhamdulillah masih dipercayai untuk mengikuti kegiatan keagamaan di masjid.

“Mbak Mega dari tadi siang belum makan?” tanya Ibu penuh perhatian.
“Belum lapar Bu,” jawabku tak bersemangat.
“Kesehatanmunya Mbak Mega.”
“Nggih Bu, nanti dulu.”

Kujawab iya, nggih, atau sebangsanya pun Ibu sudah cukup percaya. Karena Ibu selalu mempercayaiku atas apa yang diperintahkan kepadaku. Tapi sudah menjadi kebiasaanku makan dengan perintah bahkan paksaan. Orang-orang di rumah sampai lelah ngomel-ngomel padaku hanya untuk memintaku makan. Sekitar pukul 10 malam ini aku belum juga makan. Keasyikan mengerjakan tugas menulis cerita. Kamu nggak tahu kan kalau aku lagi-lagi menjadikanmu tokoh dalam setiap penggarapan ceritaku. Hatiku kecilku mulai berkata. Sambil menyelesaikan cerpen, aku masih juga memasang earphone di telingaku. Dan teringat sesuatu, aku sedang menunggu kepulangan seseorang yang meninggalkan rumah mengurusi proposal dari atasannya. Bayu. Yah, Bayu.

To : Bayamku:)
Aku nunggu km pulang lg ya ;)
From : Bayamku:)
Nggak usah aku plg malem
To : Bayamku:)
Sekalian ngerjain tugas kok. Hati2 ya pulangnya :)
From : Bayamku:)
Yaa..

“Udah gitu aja Bay?” aku mendegus kesal.
Aku selalu mengkhawatirkannya tiap kali ia keluar malam. Terkadang rasa khawatirku yang over menjadikan bumerang terhadap hubunganku dengan Bayu. Padahal ini bukan kali pertamanya dia pergi hingga larut malam. Semestinya aku tak perlu kaget jika tiba-tiba Bayu pamit keluar.
-ooo-

Matahari telah memerah di ufuk barat, sedikit demi sedikit mulai menghilang di balik bukit –bukit kecil yang masih bisa terlihat di depan rumah. Aku masih duduk di kursi kayu berukir indah di beranda rumah saat langit sudah merangkak mendekati gelap. Sang surya telah kembali keperaduannya. Senja kini digantikan oleh malam. Aku menyunggingkan senyum, tertegun melihat keindahan. Aku tak berani membayangkan apa yang nanti malam akan terjadi. Karena pasti ada hal tak terduga setiap harinya.

From: Bayamku:)
Aku mengurus proposal lg sm Rizal ya sayang.
Assalamuallaikum:*

Baru aku selesai sholat maghrib handphone berkedip dan aku telah membaca pesan itu.

To: Bayamku:)
Have a safe trip, aku nunggu lg ya. Walaikumsalam :*

Beberapa saat aku menunggu balasan, tapi tak juga handphoneku berkedip lagi. Akhirnya aku segera menuju meja makan. Ada Kakung, Uti, Ayah, Ibu, dan Arga. Kebersamaan terasa sangat menentramkan suasana yang tenang ini. Tak lupa, ini dia ada sayur bayam. Sayur favoritku dan Bayu. Selama kami masih di fase PDKT (baca: pendekatan) Bayu sering memanggilku dengan sebutan ‘Say’. Aku tahu maksudnya ‘Sayang’ tapi kan belum afdol kalau belum pacaran. Hihi. Akhirnya aku plesetkan ‘Sayur’. Jadi jangan heran kalau dulu Bayu memanggilku seperti PSK (baca: Pedagang Sayur Keliling). Tak mau kalah, aku mengganti namanya ‘Bayam’ kupikir sudah banyak yang memanggilnya Bayu, cari yang beda dari yang lain ya jadi Bayam. Cocokkan Bayu kalau panggil sayur-sayur aku balasnya bayam-bayam. Tak hanya itu, dulu Cincau – Cendol juga pernah menjadi trending topic kami. Penyebabnya juga pada kasus yang sama.

“Ah… Kita selalu melakukan hal bodoh yang sama sekali nggak mutu. Dan kapan akan terulang kembali?” 

Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu, mangucap salam, dan memanggil-manggil nama Kakung dan Uti. Keduanya serempak membuka pintu dan mempersilahkan tamu itu masuk.

“Ada apa malam-malam kesini Yu?”
“Bolehkah aku minta sedikit makanan?”
“Ya Allah, kau belum makan? Pantas kau pucat pasi. Dengan senang hati aku akan memberimu.”
“Terimakasih hari ini aku tidak mendapatkan uang dari hasilku bekerja. Aku tak bisa beli beras.”
“Tunggu dulu biar diambilkan Dewi.”

Sementara Ibu menyiapkan untuk makan Yu Inem aku menyiapkan untuk dibawa pulang dengan rantang. Sudah sepatutnya kita sesama, tanpa pandang bulu, membantu dan menolong saat mereka kesulitan dan membutuhkan uluran tangan kita. Kami semua mau berbagi, dalam keadaan apapun untuk yang lebih berhak dan membutuhkan, karena yang kita punya sekarang ini hanya sementara dan hanyalah titipan dari Allah SWT. Meskipun terbatas, tapi jika kita memberikannya dengan ikhlas, percayalah Tuhan akan menggantinya yang lebih banyak.

“Yu, ini untuk Mbak Upik di rumah. Kalau mau besok pagi ke sini lagi tak apa,” kataku tulus.
“Terimakasih Mbak Mega. Kau baik sekali,” pujinya.
“Sudah seharusnya Yu, maaf hanya membantu seperti ini.”
“Ini sudah cukup. Terimakasih banyak.” Katanya sambil menyalamiku.
“Salam untuk Mbak Upik.”
“Njih. Saya pulang dulu Pak, Bu, Mbak Mega.”
-ooo-

Hari telah berganti, cerita pun berganti. Begitulah kalimat yang selalu terbayang saat fajar mulai menyapa. Dia menyambutku dengan lembut. Cahayanya begitu kuat bersinar menampakkan warna oranye. Usai sholat subuh aku berdiri santai di belakang rumah dengan tangan bersedekap. Menikmati sunrise di minggu pagi yang cerah ini. Tak perlu jauh-jauh kepantai atau kepegunungan untuk menyaksikan pemandangan yang super duper menakjubkan. Lagi-lagi aku dikejutkan layar handphone di genggaman tanganku berkedip.

From : 085xxxxxxxxx
Nanti kumpul di skul jam 10 ada tugas dari Pak Henri. Maaf tadi malem blm smpt ksh kabar. Forward ya. Mbak Wida
To : 085xxxxxxxxx
Saaaap! Thk infonya mb. Alhamdulillah

“Ada tugas apa lagi dari Pak Henri?” aku mulai bertanya-tanya.
Ah sudahlah lihat nanti saja. Pasti ada hal tak terduga.

Di sekolah…
“Ada ralat dari Dinas, pementasan teater untuk FLS2N tingkat kabupaten ada 6 orang yang tampil di atas stage.” Tutur Mbak Wida.
“Lalu? Maksudnya gimana Mbak?” tanyaku polos.
“Sekarang kesempatan kalian unjuk gigi. Jangan kecil hati yang dulu belum kepilih seleksi. Yang hanya ini yang tersisa, 6 orang sebagai pemain dan aku ditunjuk Pak Henri menjadi sutradara. Untuk pembagian peran, kita menunggu dulu teks dari Pak Henri. Jangan kecil hati yang dulu nggak kepilih seleksi. Sekarang hanya ini yang tersisa, jangan sampai sia-sia. Walaupun 1 bulan waktu yang singkat, tapi kalau kita niat dan tekun kita pasti bisa,” Jelasnya panjang lebar. 

Aku jadi terpikir sesuatu tentang sebab akibat aku memilih ekskul teater. Awalnya hanya ingin coba-coba karena hanya ini satu-satunya ekskul yang berhubungan dengan sastra. Sasaran pertama yaitu ekskul majalah sekolah atau majalah dinding, tetapi ternyata tak ada programnya. Jadilah aku seperti ini di grup teater. Memang banyak hal tak terduga dari sepengetahuan kita. Semoga ini awal kesuksesanku. Amin.
-ooo-

Masalah demi masalah datang silih berganti. Semoga menjadi bulan penuh berkah. Permasalahan di teater tak hanya sekali dua kali menguji kami. Rasa malas dan egois masing-masing menjadi faktor penyebab utamanya. Sampai di satu hari, kami semua tidak fokus latihan dan hanya membahas tentang persoalannya. Tak jarang Mbak Fara, teman satu angkatan Mbak Wida membuat lelucon. Hari ini latihan hanya setengah-setengah dan lebih banyak pembekalan soal persiapan mental.

“Dek Mega kamu itu kaya siapa gitu ya?” tanya Mbak Fara sambil menerawang.
“Siapa Mbak? Keliatan kalau mukaku pasaran ya?”
“Bukan. Kaya di kartun apa gitu aku lupa,” masih menerawang.
“Micky mouse ya?” teriak Salwa dari depan pintu ruangan.
“Bukan. Yang pacarnya popeye itu siapa?”
“Olive ya?” balasku serempak dengan Salwa.
“Iya, kamu mirip Olive!” ledeknya.
“Apanya yang mirip Mbak?” tanyaku heran.
“Pokoknya mirip, bentuk wajahnya.”

Aku hanya senyum kecil malu-malu. Tepat sekali kedua di antara kami menyukai sayur bayam. Bayam kan makanan popeye sehari-hari. Semoga saja Mbak Fara tadi tak hanya sekedar mengolok-olok. Kalau aku olive berarti Bayu popeye dong?

Aku terdiam beberapa saat. Merasakan sesuatu yang tengah mengguncang hatiku. Sepersekiandetik ku mencoba menutup semua imaginasi tentangmu. Memang bayangmu yang selalu ada di angan-anganku. Tapi aku tak ingin bila aku selalu mengimaginasikan dirimu. Karena yang aku ingin saat ini bukan imaginasi tentangmu tetapi realita tentangmu. Seperti ada tirai tipis yang membatasi kami.

Everytime I see your face
Everytime you look my way
It's like it all falls into place
Everything feels right
But ever since you walked away
You left my life in disarray
All I want is one more day
It's all I need, One more day with you (Everytime – Simple Plan)

“Pelan-pelan aja bisa kan Meg?” tanya Mbak Wida kesal.
“Maaf Mbak, pengaturan volumenya rusak,” sambil cengengesan. Aku memang sengaja memutar lagu itu keras-keras. Agar dunia tahu, aku sedang menjadi korban lirik lagu itu. Bayuuuuuuuu. Kembalilah wahai sayangku.

Karena langit sedang tak bersahabat, kami memutuskan untuk pulang. Langit gelap, kelabu, dan sebentar lagi akan menangis. Aku keluar gerbang sekolah berbelok kiri. Aku akan  ke rumah Risa. Teman-teman sudah menungguku di sana.

“Assalamualaikum,”
“Wa’alaikumsalam, masuk sini Meg,” ujarnya lembut.
Aku tak segera masuk karena masih harus member Ibu kalau sore ini aku terlambat.  Aku tak berani pulang ke rumah karena tak ingin banyak menanggung resiko. Hujan pasti datang di saat aku masih perjalanan ke rumah dan aku tak membawa jas hujan. Ceroboh.

“Baru pulang latihan Meg? Duh calon artis nih?” ledek Fira.
“Ya gitudeh,” jawabku singkat. Seketika Sita menoleh dan menempelkan punggung tangannya ke dahiku.
 “Yang sakit sini bukan sini,” sambil menunjuk isi hati. Ceilah.
“Kamu kenapa Meg wajahmu kelihatan berat banget,” tanya Risa mendekatiku.
“Nggak papa coy, santai aja lagi.”
“Kelihatan bohongnya. Mata kamu bicara kamu lagi nggak baik,” tukas Fira.

Risa, Fira, dan Sita adalah sahabat-sahabat ku sejak kami duduk di bangku SMP. Dulu mereka selalu menjadi tempat aku mengeluarkan segala uneg-uneg. Mereka sudah hafal betul bagaimana jika aku sedang menghadapi masalah dari level bawah hingga level atas. Seperti kali ini, jelas sekali mereka cepat mengidentifikasi bahasa tubuh, sorot mata, dan keiritan ekspresi yang aku suguhkan ke mereka. 5 menit berlalu. Kami hanya diam membisu. Tak berani mengatakan sesuatu. Suasana mendadak hening. Aku langsung merangkul ketiga sahabatku itu. Tangisku terpecah. Semakin menjadi-jadi. Menggigit bibirku sendiri hingga memerah. Nafasku makin tersendat-sendat. Mereka semua mencoba menenangkanku. Satu persatu mereka membisikkan sesuatu ke telingaku.

Untuk Bayu. Aku ingin sekali kau merasakan sesuatu mendidih di bahumu. Kemudian kau merasakan ada sesuatu yang mengalir di kulit sekitar lenganmu. Dan kau akan melihat, pakaian yang kau kenakan basah. Yang terakhir, kau menatapku wajah mungilku lembut penuh rasa kasih sayang. Bayu jika Tuhan mengizinkan aku ingin menemuimu sekarang juga. Aku ingin mengungkapkan semua yang ku rasakan. Aku selalu memendam semua ini sendirian.

“Dia sama sekali nggak hubungin kamu?” tanya Fira ketus.
Menggeleng.
“Kamu nggak coba ngomong sama dia?” giliran Sita.
Menggeleng.
“Dia tahu kamu sedang tertekan?”
Menggeleng.
“Dia tahu kamu selama ini melakukan 2 hal sekaligus? Menunggu dan mempertahankan!”
Menggeleng.
“Mega tolong jawab! Aku nggak butuh gelengan kepala,” Risa mulai tak sabar.
Akhirnya akupun bercerita tentang apa yang sedang aku alami dengan Bayu. Ngalor-ngidul. Semuanya memperhatikan dengan seksama.
-ooo-

Tak lupa mengucap basmallah untuk mengawali pagi ini. Lagi-lagi di pagi hari aku menikmati keindahan sunrise ciptan-Nya. Lebih indah dari yang biasanya. Aku mulai berharap pada sang mentari agar tetap setia menjagaku hingga dia pulang lagi ke peraduannya. Aku memainkan handphone di tanganku. Tiba-tiba teringat sesuatu. Aku menjepret langit jingga hasil dari cahaya mentari yang bersiap menampakkan wajahnya. Kemudian aku mengirimkannya via MMS untuk Bayu.

To : Bayamku:)
Ku harap kamu juga melihatnya pagi ini. Jika terpaksanya tidak, aku memberikanmu gambar ini agar kamu tetap bisa menikmatinya. Kisah kita setiap saat yang terjadi di bawah angkasa ini akan selalu terukir indah di alam pikiran kita, kuharap begitu. Selamat pagi sayang semangat beraktivitas :)

Begitu aku menyapa paginya, memberi semangat untuknya padahal aku sendiri tak mendapat semangat pagi darinya, bahkan ucapan selamat pagi. Meskipun begitu, aku tetap bisa merasakan semangat dari dalam diriku sendiri ketika aku mengungkap semua anganku ke kamu.

Siang hari di lobi sekolah.
“Nanti sore gladi bersih di mana Meg?” Nina, sahabat bangkuku mendekat denganku.
“Di sekolah. Besok jadi tuan rumah,” jawabku penuh sabar.
“Nanti nonton dulu El, Dev harus ya!” ajaknya pada Elya dan Deva.
“Beres! Boleh nonton kan Meg?”
“Kenapa tidak. Aku seneng kalian mau nonton, apalagi gladi bersihnya,” senyum kecut.
“Mega kenapa? Daritadi murung?” tanya Deva.
“Iya. Nggak asik Meg.”
“Aku nggak bisa seceria kemaren coy,” jawabku santai.
“Afaan (pake f)? Jangan nangis Meg, teater kamu lho!”
“Bisa bagi waktu kok tenang aja.”
“Ya tetep jangan cemberut gitu ntar lama-lama mewek,” ujar Nina.

Dan ternyata memang benar. Aku tak bisa membendung cairan bening yang  sejak tadi sudah kupaksakan untuk bertahan. Lemah. Ringkih. Aku menangis tak bersuara di bahu Nina. Pertama kali aku berbagi keluh kesahku dengan mereka. Karena mereka yang setiap hari bersamaku.
-ooo-

“Selamat untuk kita semua. Kalian luar biasa. Saya bangga dengan kalian. Selamat berjuang ke tingkat selanjutnya. Banyak PR untuk kita semua. Memang benar, selalu ada keajaiban di atas panggung di saat hari pementasan,” puji Pak Henri.

Ibu, terimakasih atas doa-doa yang telah panjatkan selama ini, akhirnya aku pulang membawa kebanggaan untukmu.

Sahabat-sahabatku, terimakasih atas segala waktu yang kau luangkan untuk menyokong semangatku. Kini aku membawa kebahagiaan untukmu semua.

Bayu, terimakasih meskipun kau tak pernah menemaniku latihan, apalagi di sela-sela kesibukanmu kau masih jarang menghubungiku ternyata kau masih memperdulikanku.  Ini juga untukmu. Ku harap kau mengerti betapa berartinya aku untukmu. Dan ku harap kau paham mengapa selama aku yang ada di sisimu.

Semua ini tentang harapan yang datang saat keterpurukan.
Tentang impian yang ada di ambang keputusasaan.
Tentang angan-angan yang muncul saat di keheningan.
Tentang perjuangan di antara beribu pengorbanan.
Dan tentang cinta yang membuat semua ini bertahan.

-SELESAI-
Kamis, 05 September 2013


Cerpen ini tak bisa mengantarkanku menjadi yang pertama *CRBT* Belum sempet di posting di sini, belum sempet ngasih softcopy ke kamu biar kamu baca, eh kok malah udah *ehm* Waktu memang berjalan dengan cepat. Hingga tak terasa kini semua telah lepas dan bebas. Hanya permintaan maaf dan ucapan terimakasih tak terhingga yang bisa terungkap dari suara hati. Kalah atau menang, lepas atau bertahan, judulnya tetap Sayur Bayam! Smile :-)